Pesawat Air Asia QZ8501 merupakan jenis pesawat Airbus A320-200 yang merupakan pesawat sangat canggih, memiliki kecepatan maksimal 903 km/jam. Berat kosong pesawat sekitar 42,220 kg dengan dimensi panjang 37,57m, lebar 34,09m, dan tinggi 11,76m. Kapasitas maksimal pesawat ini 179 penumpang.
Di Indonesia, maskapai yang mengoperasikan keluarga A320 adalah Indonesia AirAsia dan Citilink. Teknologi yang digunakan pesawat Airbus A320 antara lain sistem kontrol penerbangan fly by wire digital penuh dalam pesawat sipil. Kokpit digital penuh, bukan sistem hibrid seperti ditemukan di pesawat A310, Boeing 757 dan Boeing 767.
Sebelum hilang kontak, kapten pilot sempat mengontak tower di Jakarta pada pukul 06.12 untuk meminta menyimpang dari rute penerbangan karena menghindari awan dan naik ke ketinggian 38.000 feet. “Pesawat telah meminta rute yang bukan biasanya, sebelum hilang kontak,” kata Staf Khusus Kementerian Perhubungan, Hadi Mustofa.
Permintaan pilot pesawat yang lepas landas pk. 05.36 WIB dari Bandara Internasional Juanda itu, untuk berbelok ke kiri telah disetujui. Namun ATC belum mengizinkan pesawat AirAsia naik ke ketinggian 38.000 feet–karena kondisi traffic dan koordinasi dengan adjacent ATS unit.
Direktur Utama Airnav Bambang Cahyono mengatakan, ada enam pesawat yang melintas di sekitar area AirAsia QZ8510 yang hilang kontak, di antaranya adalah Garuda Indonesia, Lion Air, dan Uni Emirates.
Namun, pada ketinggian 38 ribu kaki, ternyata ada pesawat Garuda Indonesia sehingga Air Asia tidak bisa menambah ketinggian sesuai dengan permintaan. Pesawat itu akhirnya berbelok ke kiri, kemudian hilang kontak, ujarnya.
Bagi Air Asia menurut CEO-nya, Tony Fernandez, ini adalah kecelakaan yang pertama kali. Selama 13 tahun beroperasi, armada maskapai penerbangan ini telah mengangkut 220 juta penumpang, tanpa kehilangan satu orangpun.
Kumulonimbus adalah awan tebal vertikal yang menjulang sangat tinggi, padat, mirip gunung atau menara. Bagian pucuk awan ini berserabut, tampak berjalur-jalur dan hampir rata, melebar mirip bentuk landasan yang disebut anvil head. Awan ini terlibat langsung dalam badai petir dan cuaca ekstrem lainnya.
Awan ini ditakuti para penerbang, karena dapat membuat mesin dan sayap pesawat dipenuhi es. “Jika memasuki awan tersebut, pilot akan menghadapi gumpalan es yang bisa berbahaya jika masuk ke dalam buletan mesin dan sayap karena bisa menempel,” kata Kapten Jhon Barata eks pilot Garuda dan Merpati.
Dia menyebutkan, untuk menghindari gumpalan es menempel di mesin dan sayap pesawat setiap pilot harus menyalakan pemicu busi yang berguna sebagai tenaga ekstra guna memanaskan sayap, jendela dan mesin agar es mencair. “Jika busi dinyalakan, biasanya tenaga mesin dikurangi dan daya tahan pesawat menurun karena pesawat mempunya maksimun speed.”
Bila itu yang terjadi, katanya, pesawat akan jatuh karena kurang kecepatan untuk naik. “Bahayanya jika sudah jatuh pesawat berputar-putar ada juga pesawat yang tidak bisa menahan tekanan dan akhirnya meledak,” katanya.